Akrab dengan Zapf Dingbats buatan Herman Zapf 1978? Digital type berisi ikon dan ornamen memang menjadi format tersendiri yang unik untuk dikulik. Dingbat menjadi medium kreasi Didik Pratikno (28) dalam mengolah beragam visual yang lekat ditemukannya di tanah air. Ada Pramoedya Ananta Toer dan Munir dari tuts huruf komputer kami sekarang. Dari wajah para pahlawan, karakter wayang, hingga rumah-rumah adat nusantara telah diolahnya. Berawal dari dingbat perdana yang merupakan olahan vektor kerajinan logam kuningan Juwana, Djoewana, hingga 2015 ini Didik telah menelurkan 10 set font dingbat.
Salam kenal, DGI. Sekarang masih sibuk sebagai desainer grafis freelance, tukang setting, sekaligus menjalankan usaha kecil-kecilan yang bergerak di bidang kerajinan logam untuk interior serta komponen mebel kayu di kota Juwan, Pati, Jawa Tengah.
Sekitar akhir 2007, saya masuk Kuliah D3 di ADVY Yogyakarta. Itulah awal mulasaya berkenalan dengan Desain Grafis. Sekitar 2011, saya mulai tertarik belajar membuat font dingbat sampai sekarang.
Font itu terlihat simpel jika kita melihatnya setelah didigitalisasi. Padahal, prosesnya membutuhkan ketelitian, kerapian, kesabaran pada saat proses skets, serta dalam proses path dan men-generate-nya menjadi True Type Font. Saya lebih suka membuat font berjenis dingbat daripada model typeface, karena dasar keilmuan saya yang masih dangkal sehingga saya belum terlalu mengerti tentang dasar kerning, tracking, line spacing, dan berbagai aturan membuat typeface.
Tetapi, karena font yang saya buat berbasis dingbat, saya pun leluasa untuk membuatnya sesuai keinginan saya, berdasarkan tema dan konsep yang saya inginkan tanpa melupakan unsur kontinuitas.
Tahun 2011 saya mulai membuat font yang lebih tepat disebut dingbat, bukan jenis typeface. Dingbat ini lebih condong pada karakter berupa simbol dan ikon daripada alphabet. Mulanya, saya membuat motif tarikan kerajinan logam kuningan Juwana, yang saya beri nama Djoewana. Karena keisengan ingin belajar membuat font, saya kemudian menggubah vektor motif-motif tersebut menjadi font dingbat Djoewana dan saya unggah ke Dafont. Itulah awal mulai kerajingan membuat font dingbat. Dari sana juga saya berkenalan dengan Zapf Dingbats karya Herman Zapf yang dibuat tahun 1978.
Kekaguman saya dengan berbagai desainer produk seperti Charles Eames dan istrinya, Ray Eames serta desainer produk Indonesia, Bapak Singgih Magno [Singgih Kartono, penggagas radio Magno, ed.] memberikan saya ide untuk membuat dingbat Coolstuff, berisikan simbol-simbol ikonik dari produk-produk yang menurut saya peka zaman. Sejak saat itu, saya mulai secara kontinu membuat [dingbat] kalau memang ada waktu luang, termasuk untuk riset.
Biasanya, saya mencari tema dingbat yang ingin saya buat. Kemudian, saya cari obyek-obyek yang seragam dari tema dingbat tersebut, lalu mengumpulkan gambaran kasarnya melalui corat-coret. Temanya bisa dari permainan anak, tokoh penting saat srawung (ngobrol bersama), atau pun tentang kebudayaan kampung.
Saya mencari gambar mengenai tema dingbat yang akan dibuat,dan membuat coretan kasar bentuknya. Kemudian, diolah secara digital menjadi vektor melalui program grafis; bisa dari Adobe Illustrator atau pun Corel Draw. Terakhir, menggunakan program pembuat font; bisa dengan Font Creator atau Fontlab. Kalau dalam pembuatan dingbat, saya mengunakan program font creator type freeware alias gratisan. Hehehe.
Lama atau tidaknya tentu tergantung tema, konsep, serta data. Biasanya, kalau lagi mood, bisa 3 bulan jadi. Mungkin yang paling lama satu tahun, yakni saat saya membuat dingbat Cermin Pahlawan, berisikan potret pahlawan-pahlawan Indonesa, karena tidak ada target pengerjaan kapan selesainya. Hehehe.
Propaganda mengenalkan Indonesia melalui font dingbat.
Ide font Toer Dingbat (Font bergambar Pramoedya Ananta Toer) tercetus ketika saya berkunjung di Blora tempat kelahiran Pram. Di perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa), seorang teman berkata, “Toer: Tansah Ora Enak Rasane” (Walaupun tidak nyaman untuk dirasakan). Dari ucapan tersebut, saya mempunyai ide, bagaimana kalau mendokumentasikan wajah Pram menjadi font sebagai memoar simbol pengingat bahwa ada penulis satra kebangaan Indonesia yang lahir dari kota kecil Blora.
Sementara, dingbat Munir merupakan bentuk penghormatan saya. Semoga ada titik kejelasan tentang kasusnya. Sebagai pengrajin font, saya hanya bisa bergerak melalui propaganda font. Ada keinginan saya belum tercapai untuk membuat Dingbats Alm. Benyamin Sueb serta komedian Indonesia seperti Warkop, Darto Helm, Ateng, dan Iskak.
Syukur responnya positif. Kadang ada yang meminta izin untuk memakainya sebagai elemen desain. Pernah suatu waktu dingbat saya dipakai orang tanpa ijin dan dibuat poster lalu menang juara 1 pada saat Lomba Poster Hari Haki Internasional. Saya ikut senang karena ternyata ada manfaatnya, misalnya untuk dingbats Coolstuff, saya berkolaborasi dengan desainer senior, Mas Iwan Rekarupa untuk membuat Dingbats Magno.